Jakarta Fashion Week 2019 mencapai puncaknya di tanggal 26 Oktober 2018. Dewi Fashion Knights 2018 kembali digadang menjadi the cherry on top untuk pesta mode akbar ini. Memilih tema "HEROES", redaksi Majalah Dewi selaku penggagas konsep di balik segmen megah ini ingin menampilkan sosok yang dapat menjadi tiang harapan di tengah dunia yang sedang bergejolak.
Sejumlah panelis telah memilih empat desainer yang dianggap paling mumpuni dan mampu mewakili suara yang ingin ditampilkan. Sengaja memilih desainer dengan gaya dan medium yang berbeda-beda, seakan ingin meleburkan batas-batas tersebut dalam fesyen.
Desainer yang pertama tampil adalah Chitra Subiyakto dengan labelnya, Sejauh Mata Memandang. Lebih dikenal sebagai
textile artisan, Sejauh Mata Memandang mengisahkan kembali dongeng tradisional Timun Mas dalam helai-helai kain batik berwarna kuning, merah, dan biru gelap.
Potongan sederhana seperti blus, toga, dan kutubaru semakin menonjolkan kualitas, pemilihan warna dan motif akan kain-kain batik tulis indah ini. Memang, Chitra memilih wanita-wanita perajin di balik helai-helai cantik ini sebagai sosok pahlawan yang menjadi inspirasinya.
Mengangkat wastra asal tanah asalnya di Sumatera, Songket, Tommy Ambiyo Tedji menghadirkan motif-motif baru untuk jalinan polimernya dalam label aksesori Byo. Dipadu dengan warna-warna pastel, hijau zaitun, dan merah marun, motif kain khas Palembang dan Riau ini tampak modern saat dijelmakan menjadi tas dan pakaian yang dijalin tangan ini.
Tas dari jalinan PVC dan teknik
laser cut pada bahan
neoprene yang dijadikan pakaian ini semakin menonjolkan hasil gemblengan Tommy pada dirinya sendiri. Tidak tanggung-tanggung dalam mengulik darah yang mengalir dalam dirinya, sang desainer menyebut sang ibu sebagai pahlawan di balik koleksi ini.
Lain halnya dengan Sean & Sheila. Label yang digawangi Sean Loh dan Sheila Agatha ini memilih Chris Jordan, fotografer sekaligus aktivis lingkungan sebagai pahlawan mereka. Menggunakan kembali sisa material mereka dari koleksi sebelumnya, suami istri ini mengusung isu-isu lingkungan yang mereka sebut sebagai
slow motion apocalypse.
Penggunaan teknik melapis PVC di atas bahan-bahan bekas ini memberi efek mengilap pada bahan, tiap lekuk pakaian mengingatkan penikmat pada plastik, tanpa terlihat kaku karena dipadukan dengan efek
embroidery dan
fringes yang mengayun elegan di atas
runway yang bernuansa gelap.
Kesan eksperimental semakin terasa dengan kemunculan koleksi The Faces dari Rinaldy Yunardi sebagai penutup. Mendadak atmosfer terasa berat dan gelap saat satu per satu karya desainer aksesori ini muncul dengan iringan nyanyian seriosa. Satu per satu
headpiece dengan konstruksi yang membuat lidah berdecak ini dipadankan dengan gaun dan cape berwarna hitam yang menonjolkan penggunaan bahan
tulle.
Nuansa
masquerade dengan topeng-topeng mengilap menjadi satu-satunya benang merah dalam koleksi ini. Ada berbagai material dan bentuk yang dieksplor, mulai dari kawat, kaca, kertas, logam, bunga-bunga plastik, bulu sampai kabel yang berpadu dengan lampu-lampu kecil menjadi bagian dalam koleksi Rinaldy malam itu. Ada pesan tersendiri dari koleksi yang terinspirasi dari wanita ini, bahwa pahlawan bisa muncul dalam berbagai bentuk, dan tidak melulu indah dan lembut.