Dokter Tirta, Mencari Uang dari Mencuci Sneaker (PART 2)
Tuesday, 10 Sep 2019
by
News
Dokter Tirta, Mencari Uang dari Mencuci Sneaker (PART 2)
Tuesday, 10 Sep 2019
by
Buah yang manis belum tentu berasal dari bibit yang manis pula. Tirta sempat pula merasakan pahitnya berbisnis.
Untuk menampung pesanan yang tak lagi muat di emperan kosnya, Tirta membuka gerai Shoes and Care pertama di Jalan Langenastran Lor No 16, Kota Yogyakarta. Ia juga kemudian nekat membuka gerai di Jakarta. Ini pertama kalinya Tirta menyambangi ibu kota. “Saya punya budget cuma buat nyewa ruko, di daerah Blok M. Habis itu saya tidur nggembel, tuh, di emperan ruko.”
Dari situ ia mengaku, “Mulai kenal Intisari, akhirnya mulai bikin tato. Dokter yang tangannya banyak tato gini saya doang,” imbuh Tirta sambil bergurau. Menyadari kesalahan yang diperbuatnya, pria berperawakan kurus ini pun buru-buru bertobat dan berusaha menjadi lebih baik. Bahkan ia mengangkat orang-orang marginal di sekitarnya semasa ‘rusak’ untuk penjadi pegawai. Kini di 40 gerai Shoes and Care yang tersebar di 22 kota di Indonesia, 50% pegawainya adalah mantan narapidana dan preman, sebab ia yakin, “Mereka sebenarnya punya kemampuan untuk bekerja. Pernah rusak nggak masalah, yang penting masih hidup, ada kesempatan kedua.”
Beberapa waktu lalu, dengan pergerakan industri yang pesat mengarah ke digital, Tirta meluncurkan aplikasi Tukutu. Platform ini sebagai tempat titip jual produk sepatu, baik baru, bekas yang masih layak pakai, maupun sepatu langka. Salah satu misinya untuk membantu sepatu brand lokal menemukan pangsa pasar.
Di tengah geliat sneaker-sneaker lokal saat ini, Tirta jelas menyambut gembira namun enggan untuk membuat brand sneaker sendiri sebagai pengembangan lain dari bisnisnya, meski ia merasa punya kemampuan untuk itu. “Bias nanti jadinya,” ia mulai menjelaskan alasannya. “Saya jadi konsultan dan menjualkan produk orang lain saja. Kalau saya produksi juga, jadi monopoli, bisa-bisa mati industrinya. Rantai makanan jangan dikuasai semua.”
Oke, Tirta telah berhasil di dunia bisnis. Tapi pernahkah dirinya merasa malu, mengingat bertitel dokter namun yang ditekuninya urusan mencuci sepatu? “Nggak,” sergahnya. “Saya bilang ke mereka yang meremehkan, ‘Kamu beli Starbucks, traktir pacar, pakai duit orang tua. Saya beli motor pakai duit sendiri.’ Sudah beda level.” Ia melanjutkan, “Tahun 2016 saya diundang rektor untuk berbicara di depan UGM, udah pada diam itu. Dua tahun kemudian saya bisa punya dua rumah, tambah diam mereka. Malah mereka yang menghina, sekarang ngontrak rumahnya.”
Tirta percaya bahwa jika kita tidak bisa menghargai sesuatu yang kecil, kita tidak akan pernah memperoleh hal besar. “Makanya saya bodo amat orang mau bilang apa, yang penting halal, nggak mengganggu orang lain,” tegasnya, “juga nggak judi, nggak nyolong, dan nggak korupsi, ya saya lakuin.”
Lagi pula, alasannya menekuni bisnis juga karena baginya dokter itu profesi humanis. “Saya tidak bisa mengandalkan profesi dokter untuk mencari uang. Sangat nggak etis kalau saya pengen kaya raya tapi mengharap orang sakit. Makanya saya cari duit dari hal lain,” tutup Tirta.